SENDAWAR, Infokubar.id – Mesin ketinting telah dinyalakan, motoris bermanuver siap untuk menyeberang, muatan kapal feri penyeberangan berukuran sedang telah penuh dengan kendaraan dan penumpang. Isinya berupa satu unit mobil dan belasan sepeda motor yang telah tersusun rapi siap menyeberangi sungai Mahakam.
Cukup dengan tarif Rp 5ribu untuk sepeda motor baik berboncengan ataupun sendiri dan kendaraan roda empat Rp 25 ribu (tanpa muatan) / Rp 30 ribu (dengan muatan) untuk sekali menyeberang. Namun jadi gratis jika kita tidak membawa kendaraan alias membawa diri saja.
Hal seperti inilah yang dialami oleh masyarakat Kecamatan Mook Manaar Bulatn ketika ingin menuju ke kecamatan lain ataupun ibukota Kabupaten dan juga sebaliknya, Kecamatan yang terletak di sisi kanan sungai Mahakam ketika mudik ini berseberangan langsung dengan Kecamatan Melak. Sementara satu-satunya moda transportasi penghubung adalah kapal feri penyeberangan. Jembatan Aji Tulur Jejangkat yang menjadi idaman masyarakat Kutai Barat masih membisu belum berfungsi di sana dengan dua pilar di kedua sisi daratan.
Siang itu penulis memutuskan untuk menuju salah satu kampung yang terdapat di Kecamatan Mook Manaar Bulatn melalui penyeberangan kapal yang terdapat di Kelurahan Melak Ilir, Kecamatan Melak. Karena mobilitas yang cukup ramai jadi banyak terdapat titik penyeberangan di wilayah ini dan tidak membutuhkan waktu lama, kapal feri yang telah penuh muatan serta akan bergantian tempat pelabuhan dengan kapal feri lainnya. Kapal segera bergegas menuju seberang dengan waktu tempuh sekitar 10 menit memotong sungai Mahakam.
Kampung Sakaq Lotoq menjadi tujuan penulis yang membutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan dari pelabuhan feri. Tujuan utama kali ini untuk menggali sedikit sejarah bangunan yang cukup tua serta masih berdiri dan dihuni oleh beberapa kepala keluarga hingga sekarang, yaitu rumah panjang suku Dayak Lamin Sakaq Lotoq.
Yaa, mungkin bagi masyarakat Mook Manaar Bulatn, Lamin ini sudah tidak asing lagi tapi bagi sebagian masyarakat Kutai Barat bahkan penulis sendiri pun masih sangat sedikit sekali informasi yang didapatkan tentang Lamin Sakaq Lotoq. Tak lain karena memang objek satu ini jarang dipublis, berbeda seperti Lamin tua lainnya di Kutai Barat yang sudah banyak dikenal.
Jalan semenisasi dan juga jalan berlumpur jika hujan, serta berdebu ketika panas terik bahkan beberapa kali harus berbagi jalan dengan truk bermuatan sawit akan menghiasi perjalanan menuju kampung Sakaq Lotoq. Kampung yang mayoritas dihuni oleh Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung.
“Orang Kecamatan Mook Manaar Bulatn menyebutnya sebagai Benuaq Londong dan juga Tunjung Londong, yaitu sebutan untuk Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung yang mendiami Kampung Sakaq Lotoq dan Sakaq Tada. Londong sendiri diambil dari nama wilayah sekitar sini pada zaman dulu”, ucap pak Jubir, salah satu warga Kampung Sakaq Lotoq kepada penulis.
Dialiri oleh sungai Sakaq yang memotong jalan dan setelah melewati jembatan kayu maka kita telah memasuki perkampungan Sakaq Lotoq. Banyaknya rumah yang berjejer kiri dan kanan jalan menjadi tanda telah memasuki wilayah kampung ini. Tak terlampau jauh saat memasuki kampung, kita akan menjumpai bangunan tua yang cukup panjang sekitar 65 meter di sebelah kiri jalan. Sontak mata kita akan tertuju ke bangunan itu karena penampilannya yang cukup unik. Bentuk dan warna kayu yang sebagian besar dari kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri) terutama tiang penyangga utama. Beratap kepang sementara lantai dan dindingnya papan. Di depan lamin terdapat beberapa patok beton bertuliskan Cagar Budaya Kutai Barat, serta beberapa warga yang sedang duduk santai di terasnya.
Pak Masno atau akrab disapa Genek, ramah menyambut kami saat di Lamin Sakaq Lotoq kemudian mengajak untuk masuk. Beliau merupakan Kepala Adat Kampung Sakaq Lotoq dan juga salah satu kepala keluarga yang masih mendiami Lamin ini. Tanpa keberatan untuk menjadi narasumber dengan penuh semangat beliaupun menceritakan tentang sejarah Lamin Sakaq Lotoq kepada penulis.
“Dahulu lamin ini pertama didirikan oleh Kakah Taman Raraq yang awalnya hanya memiliki dua bilik saja. Pada zaman itu, beberapa masyarakat masih hidup terpisah di ladangnya masing-masing. Karena beberapa alasan agar bisa saling menjaga satu sama lain, maka bergabunglah masyarakat menyambung beberapa bilik terus menerus secara bertahap bergotong royong hingga lamin ini memiliki panjang sekitar 200an meter. Namun karena pernah mengalami musibah kebakaran membuat sebagian lamin habis terbakar maka tersisalah 65 meter panjangnya seperti sekarang ini,” tutur kepala adat yang berusia 48 tahun ini.
Menurut beliau, usia Lamin Sakaq Lotoq ini diperkirakan berumur ratusan tahun. Pernah sekali mengalami renovasi oleh perusahaan kayu yang beroperasi disekitar wilayah itu pada tahun 2001-2002. Namun belum pernah sama sekali direnovasi oleh pihak pemerintah sebagai bangunan Cagar Budaya yang kini kondisinya semakin memprihatinkan.
Sebelum direnovasi oleh perusahaan dahulu bangunan lamin ini masih sangat tradisiona. Masih menggunakan bambu sebagai lantai dan kulit kayu sebagai dindingnya, berbeda dengan sekarang yang sudah diganti papan. Bahkan dulu lamin ini sering dikunjungi oleh wisatawan asing yang ingin melihat langsung bangunan dan menginap di lamin Sakaq Lotoq ini, kenangnya.
Lamin Sakaq Lotoq bukan hanya sekedar bangunan rumah panjang suku Dayak yang masih berdiri hingga sekarang. Namun juga memiliki sejarah yang panjang serta menyimpan kenangan peradaban Kampung Sakaq Lotoq. Sebuah saksi bisu yang masih dipertahankan hingga sekarang dari pesatnya perubahan dan perkembangan zaman dengan segala keterbatasan.
———————
Artikel ini merupakan kiriman pembaca infoKubar, Muhammad Kadapi